Tampilkan postingan dengan label Planet. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Planet. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Januari 2017

GJ 1132b, Planet Kembaran Venus yang Atmosfernya Beroksigen



Sekitar 14 bulan yang lalu, sebuah tim astronom mengumumkan penemuan planet ekstrasurya GJ 1132b yang merupakan planet kembaran Venus. Sebuah jurnal penelitian baru juga menjelaskan kemungkinan adanya oksigen di atmosfer planet tersebut. Meskipun suhu permukaannya sangat panas karena dekat dengan bintang induknya.

Planet GJ 1132b diketahui memiliki massa yang 1,6 besar dari Bumi, tidak seperti Venus, tetapi suhunya diperkirakan antara 120°C hingga 320°C, atau rata-rata 227°C. Suhu tersebut memang sanagt panas bagi perspektif kita, tapi sebenarnya sedikit lebih dingin daripada kebanyakan planet berbatu yang banyak ditemukan sejauh ini.

GJ 1132b mengorbit bintang induknya pada jarak sekitar 2,2 juta kilometer atau sekitar 1,5 persen dari jarak Bumi-Matahari. Meskipun bintang induknya , yang bernama GJ 1132, adalah bintang katai merah dengan seperlima massa Matahari, planet GJ 1132b terpapar jauh lebih banyak cahaya panas dari bintang induknya daripada yang Bumi terima dari Matahari.

GJ 1132b lewat di depan bintang induknya cukup sering dari sudut pandang kita di Bumi karena memiliki periode orbit yang pendek. Planet ini berada pada jarak 39 tahun cahaya dari Bumi. Cukup dekat dalam skala kosmik, sehingga kita memiliki kesempatan besar untuk mendeteksi komposisi atmosfernya lebih lanjut selama transit planet di kemudian hari.




Seorang mahasiswi pascasarjana Laura Schaefer dari Harvard Smithsonian Center for Astrophysics telah menciptakan model untuk mengkaji kemungkinan adanya oksigen pada atmosfer planet GJ 1132b ini. Dalam jurnal penelitiannya yang diterbitkan dalam The Astrophysical Journal. Schaefer telah meneliti bagaimana keberadaan lautan magma di permukaan GJ 1132b mempengaruhi atmosfernya.

Oksigen yang berada pada atmosfer planet asing GJ 1132b ini akan diserap oleh lautan magma ini. Namun Schaefer menyimpulkan hanya sepersepuluhnya saja yang akan diserap. Selebihnya akan melarikan diri ke luar angkasa, meskipun GJ 1132b memiliki grafitasi lebih kuat dari Bumi.

"Pada planet bersuhu rendah. Oksigen bisa menjadi tanda-tanda kehidupan dan kelaikhunian. Tapi pada planet yang panas seperti GJ 1132b, hal itu menandakan sebaliknya, keberadaan oksigen justru membuat planet makin terpanggang dan panaas," kata Shaefer dalam jurnal penelitiannya.

Mempelajari planet seperti GJ 1132b dapat membantu kita memahami evolusi Venus. Para astronom saat ini bingung mengapa Venus hampir tidak memiliki molekul oksigen, meskipun diduga ia pernah memiliki lautan air cair di masa lalu.

Credit : InfoAstronomy

Jumat, 07 Oktober 2016

'Hijaunya' Saturnus Dalam Cahay Inframerah

Sebuah citra terbaru dari planet Saturnus yang diambil oleh wahana antariksa Cassini milik NASA menampilkan bagian Utara planet bercincin dalam pandangan yang berbeda. Pada citra terbaru tersebut terlihat atmosfer Saturnus berwarna hijau, biru dan ungu yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Atmosfer Saturnus yang berwarna-warni ini merupakan hasil dari filter spektral pada kamera wahana antariksa Cassini. Filter tersebut dapat mencerminkan permukaan Saturnus dalam warna tertentu sesuai dengan panjang gelombang cahaya.

Kevin Gill, seorang insinyur di Jet Propulsion Laboratory NASA di Pasadena, California mengatakan citra hijau Saturnis ini didapatkan dengan menggabungkan beberapa foto yang diambil oleh kamera wide-angel Cassini dalam cahaya inframerah pada 20 Juli 2016.

Gill menggunakan kombinasi filter spektral yang sensitif terhadap cahaya inframerah pada panjang gelombang 750, 727 dan 619 nanometer. Mata manusia biasanya dapat melihat cahaya hanya di kisaran 390-700 nanometer, sehingga menggunakan filter spektral memungkinkan kita untuk melihat apa yang dinyatakan tak terlihat dengan mata telanjang.

Jenis filter inframerah ini memungkinkan para astronom untuk mempelajari bagaimana atmosfer Saturnus mencerminkan dan menyerap panjang gelombang tertentu dari cahaya Matahari.

Sementara itu, wahana antariksa Cassini telah berada di orbit Saturnus sejak tahun 2004 untuk mempelajari planet dengan cincin ternegah di Tata Surya tersebut beserya satelit-satelit alaminya. Cassini dijadwalkan untuk mengakhiri misinya dengan ditabrakan ke atmosfer Saturnus pada September 2017 mendatang.

Credit : InfoAstronomy

Kamis, 06 Oktober 2016

Planet Mirip Bumi Ditemukan Mengorbit Bintang Proxima Centauri

Perburuan planet ekstrasurya semakin semarak dalam beberapa tahun terakhir. Sejak memulai misinya pada tahun 2009, telah lebih dari empat ribu calon planet asing sukses ditemukan oleh Teleskop Antariksa Kepler, beberapa ratus di antaranya dikonfirmasi "mirip Bumi" (yaitu planet terestrial) dan terletak di dalam zona laik huni bintang induknya (Goldilocks zone).

Ini mungkin sebuah penemuan planet ekstrasurya yang paling menarik untuk saat ini. Seperti InfoAstronomy.org lansir dari Der Spiegel, para astronom mengumumkan baru-baru ini telah menemukan sebuah planet mirip Bumi yang mengorbit bintang Proxima Centauri, yang berjarak hanya 4,25 tahun cahaya dari Bumi. Planet ini mirip Bumi dalam hal komposisi, ia merupakan planet bebatuan, mengorbit dalam zona laik huni, serta berjarak tidak terlalu jauh dari Bumi kita. Tapi apakah ini "too good to be true"?

Selama lebih dari satu abad terakhit, para astronom telah mengetahui tentang Proxima Centauri, bintang yang merupakan bagian dari sistem tiga bintang yang saling mengorbit bersaama dengan bintang Alpha Centauri A dan B. Sistem tiga bintang ini adalah sistem terdekat Tata Surya kita, dengan Proxima Centauri yang 0,12 tahun cahaya lebih dekat ke Bumi.

Misi Teleskop Antariksa Kepler telah mengungkapkan ribuan planet ekstrasurya mirip Bumi. Dan baru-baru ini, sebuah tim peneliti Internasional mempersempit jumlah planet ekstrasurya yang berpotensi laik huni menjadi hanya 20 planet. Namun, dua puluh planet tersebut jaraknya ratusan tahun cahaya dari Bumi, tidak ada yang benar-benar dekat.

Planet yang mengorbit bintang Proxima Centauti ini masih tak bernama. Planet ini diyakini mirip Bumi dan berada pada jarak orbit ke Proxima Centauri yang cukup ideal sehingga dapat memungkinkan untuk memiliki cair di permukaannya, yang mana hal tersebut merupakan syarat pentinf untuk munculnya kehidupan. Tidak pernah sebelumnya para ilmuan menemukan "Bumi kedia" yang begitu dekat.

Selain itu, menurut Der Spiegel, penemuan ini dilakukan oleh European Southern Observatory (ESO) menggunakan teleskop reflektor raksasa di La Silla Observatory, Cile. Dan kebetulan, observatorium ini adalah observatorium sama yang mengumumkan penemuan planet asing Alpha Centauri Bb pada tahun 2012, yang juga dinyatakan sebagai "planet ekstrasurnya terdekat ke Bumi". Sayangnya analisis lebih lanjut justru meragukan keberadaannya, mengklain itu adalah kesalahan pengamatan.

Namun, menurut sumber yang tidak disebutkan namanya oleh Der Spiegel, penemuan terbaru dari planet yang mengitari bintang Proxima Centauri ini adalah benar-benar nyata, dan merupakan hasil dari pengamatan yang intensif.

Dikatakan juga bahwa ESO akan mengumumkan temuan ini secara resmi pada akhir Agustus 2016. Namun menurut berbagai sumber, juru bicara ESO Richard Hook menolak untuk mengkonfirmasi atau menyangkal penemuan sebuah planet ekstrasurnya di sekitar bintang Proxima Centauri. "Kami tidak mau membuat komentar apapun." ucap Hook.

Jika pertanyaan yang dibuat oleh sumber yang tidak disebutkan namanya oleh Der Speigel ini benar, maka konfirmasi (atau penolakan) akan muncil tidak lama lagi. Sementara ini, kita semua hanya perlu bersabar. Namun, kalian harus mengakui, ini merupakan prospek yang menarik: sebuah planet mirip Bumi yang jaraknya relatif dekat. Suatu saat mungkin akan ada misi luar angkasa yang menuju ke sana.

Credit : InfoAstronomy

Rabu, 28 September 2016

3,5 Miliar Tahun yang Lalu, Aktivitas Vulkanik di Merkurius Berhenti Sepenuhnya






Penelitian terbaru dari North Carolina State University menemukan bahwa aktivitas vulkanik di planet Merkurius telah sepenuhnya berakhir sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu. Temuan ini menambah wawasan dalam pengetahuan evolusi geologi planet, khususnya Merkurius.

Ada dua jenis aktivitas gunung berapi, efusif dan eksplosif. Aktifitas eksplosif sering menghasilkan abu dna puing-puing besar bekas letusan, seperti letusan Gunung Saint Helens pada 1980. Sedangkan aktivitas efusif menyebabkan adanya aliran lava yang meluas di atas permukaan sebuah planet.

Ahli geologi planet, Paul Byrne dan rekan-rekannya menantukan kapan aktivitas vulkanik di Merkurius berakhir dengan menggunakan data dan foto-foto permukaan yang dicitrakan oleh misi MESSENGER milik NASA. Karena tidak ada sampel fisik dari planet ini yang bisa digunakan untuk penelitian radiometrik, para astronom ini akhirnya menggunakan analisis ukuran frekuensi kawah, di mana jumlah dan ukuran kawah di permukaan planet Merkurius dimasukkan ke dalam model matematika untuk dihitung berapa usia mutlak dari endapan aktivitas vulkanik efusif disana.

Menurut hasil perhitungan mereka, aktivitas vulkanik di Merkurius sepenuhnya berhenti sekitar 3,5 miliar tahun lalu, kontras dengan usia vulkanik yang ditemukan pada planet Venus, Mars dan Bumi, yang masih aktif hingga kini.

"Ada perbedaan besar antara geologi Merkurius dan Bumi, Mars ataupun Venus," kata Byrne. "Merkurius memiliki mantel yang jauh lebih kecil, di mana peluruhan radioaktif menghasilkan panas lebih banyak dibandingkan planet-planet lainnya. Hal ini membuat Merkurius kehilangan panas lebih awal. Akibatnya. Merkurius mulai berkontraksi dan keraknya menutup saluran di mana magma bisa mencapai permukaan. Dan akhirnya Merkurius mendingin."

Credit : InfoAstronomy

Kamis, 22 September 2016

Venus Pernah Jadi Planet Laik Huni



Dengan awan asam beracunnya, permukaan yang terik dan tekanan atmosfer yang dapat menghancurkan tulang, suasana Venus menjadikannya salah satu tempat paling mengrikan di Tata Surya kita. Venus saat ini tidak laik huni, namun sebuah penelitian terbaru mengungkapkan ternyata dahulu Vebus mendukung kehidupan.

Ketika kehidupan pertama kali berevolusi di Bumi, planet Venus mungkin pernah menjadi tujuan wisata antariksa yang wajib dikunjungi. "Kedua planet (Venus dan Bumi) oernah sama-sama memiliki lautan air cair yang memiliki evolusi kimiawi di masa lalu," kata David Grinspoon dari Planetary Science Institute di Tucson, Arizona, AS seperti InfoAstronomy.org lansir dari New Scientist.

"Venus juga memiliki rasio yang sangat tinggi dari deuterium untuk atom hidrogen, sebuah tanda bahwa planet kedua dari Matahari ini pernah memiliki sejumlah besar air dalam bentuk cair, namun secara misterius hilang dari waktu ke waktu," kata Grinspoon.

Satu atau dua miliar tahun yang lalu, Venus dan Bumi munfkin merupakan planet yang benar-benar kembar, memiliki laut yang kebiruan dan permukaan berbatu yang hijau karena ditumbuhi tanaman. Sebuah simulasi komputer terbaru juga menunjukkan bahwa Venus awalnya mungkin pernah dihuni kehidupan lain selain di Bumi.

"Ini salah satu misteri besar tentang Venus. Baaimana bisa ia saat ini menjadi begitu berbeda dari Bumi padahal pada awalnya sangat mirip?" kata Grinspoon.

Grinspoon dan rekan-rekannya bukan astronom pertama yang membayangkan bahwa Venus pernah ramah terhadap kehidupan. Venus memang mirip dengan Bumi dalam ukuran dan kepadatan, dan ada sebuah fakta menunjukan kedua planet ini terbentuk bersama-sama dan terbuat dari material proto-planet yang sama.

Penelitian ini bisa membantu astronom dalam pencarian planet ekstrasurya dan mengetahui bagaimana planet berevolusi. Jika Venus oernah menjadi planet laik huni, maka hal itu menunjukkan bahwa planet-planet lain yang berada dekat dengan bintang induk mungkin memiliki skenario yang sama dengan Venus.

Credit : InfoAstronomy

Senin, 19 September 2016

Mengenal Sistem CIncin Planet Uranus


Uranus adalah planet ketujuh dari Matahari dan planet terbesar ketiga dan terberat keempat dalam Rara Surya. Sama seperti Jupiter, Saturnus dan Neptunus, planet yang mirip seperti kelerang berwarna putih kebiruan ini juga memiliki sistem cincin.

Uranus mempunyai sistem cincin yang rumit, yang merupakan sistem terumit kedua yang ditemukan di Tata Surya setelah cincin Saturnus. CIncin-cincin tersebut tersusun dari partikel yang sangat gelap, sehingga sukar diamati dalam cahaya tampak, yang beragam ukurannya dari mikrometer hingga sepersekian meter.

Total ada 13 lapisan cincin yang berbeda saat ini yang diketahui, yang paling terang adalah cincin ε (epsilon). Semua cincin Uranus (kecuali dua) sangat sempit. Yang umumnya mereka lebarnya beberapa kilometer. Cincin tersebut mungkin cukup muda dengan pertimbangan dinamis menandakan bahwa mereka tidak terbentuk bersamaan dengan pembentukan Uranus.

Materi di sistem cincin itu mungkin dulu adalah bagian dari satu (atau beberapa) satelit alami milik Uranus yang terpecah oleh tabrakan berkecepatan tinggi. Dari banyak pecahan-pecahan yang terbentuk sebagai hasil dari tabrakan itu hanya beberapa partikel yang bertahan dalam jumlah terbatas zona stabil yang bersesuaian dengan cincin yang ada sekarang.


Astronom Sir William Herschel mendeskripsikan cincin yang mungkin ada di sekitar Uranus pada 1789. Petampakan ini umumnya dianggap meragukan, karena cincin-cincin itu cukup redup dan pada dua abad berikutnya tak satupun yang diketahui oleh pengamat lain.


Namun, Herschel masih membuat deskripsi akurat tentang ukuran cincin epsilon, sudut relatifnya terhadap Bumi, warna merahnya dan perubahannya yang tampak bersamaan dengan Uranus mengitari Matahari. Sistem cincin itu benar-benar ditemukan pada 10 Maret 1977 oleh James L. Elliot, Edward W. Dunham dan Douglas J. Mink menggunakan Kuiper Airbone Observatory.



Penemuan itu merupakan keberuntungan. Mereka berencana menggunakan okultasi bintang SAO 158687 oleh Uranus untuk mempelajari atmosfer planet itu. Akan tetapi, saat pengamatan mereka dianalisis, mereka menemukan bahwa bintang itu telah menghilang sebentar dari pandangan lima kali sebelum dan sesudah ia tidak tampak di balik planet itu.

Mereka menyimpulkan bahwa pasti ada suatu sistem cincin di sekitar planet tersebut. Kemudian mereka mendeteksi empat cincin tambahan. Cincin-cincin itu langsung dicitrakan saat Voyager 2 lewat dekat Uranus pada 1986. Wahana antariksa Voyager 2 juga menemukan dua cincin tambahan yang tamoak redup sehingga total jumlahnya menjadi sebelas.

Pada Desember 2006, Teleskop angkasa Hubble mendeteksi sepasang cincin yang sebelumnya tidak diketahui. Yang terbesar terletak pada dua kali jarak cincin yang telah diketahui dari planet itu. CIncin-cincin baru ini begitu jauh dari planet tersebut hingga mereka disebut sistem cincin 'luar'.

Hubble juga melihat dua satelit kecil yang salah satunya, Mab, berbagi orbit dengan cincin terluar yang baru ditemukan. Cincin-cincin baru ini membuat jumlah keseluruhan cincin Uranian menjadi 13. Pada April 2006, gambar cincin baru tersebut dengan Observatorium Keck menghasilkan warna cincin-cincin luar, yang terluar biru dan lainnya merah.

Satu hipotesis mengenai warna biru cincin luar tersebut adalah bahwa ia terdiri atas partikel kecil air es dari permukaan Mab yang cukup kecil untuk menghamburkan cahaya biru. Kontras dengan itu, cincin-cincin dalam planet itu tampak abu-abu.

Pada Desember 2005, Teleskop angkasa Hubble mendeteksi sepasang cincin yang sebelumnya tidak diketahui. Yang terbesar terletak pada dua kali jarak cincin yang telah diketahui dari planet itu. Cincin-cincin baru ini begitu jauh dari planet tersebut hingga mereka disebut sistem cincin "luar".

Hubble juga melihat dua satelit kecil yang salah satunya, Mab, berbagi orbit dengan cincin terluar yang baru ditemukan. Cincin-cincin baru ini membuat jumlah keseluruhan cincin Uranian menjadi 13. Pada April 2006, gambar cincin baru tersebut dengan Observatorium Keck menghasilkan warna cincin-cincin luar: yang terluar biru dan yang lainnya merah.

Satu hipotesis mengenai warna biru cincin luar tersebut adalah bahwa ia terdiri atas partikel kecil air es dari permukaan Mab yang cukup kecil untuk menghamburkan cahaya biru. Kontras dengan itu, cincin-cincin dalam planet itu tampak abu-abu.

Cincin yang Miring

Uniknya, cincin Uranus miring 97,8 derajat dari bidang Tata Surya. Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa cincin (dan planet Uranus itu sendiri) miring lebih dari 90 derajat, bagaimana itu bisa terjadi?

Jika planet-planet di Tata Surya kita berotasi seperti gasing yang berputar termiring-miring relatif terhadap bidang Tata Surya, planet Uranus justru 'menggelinding'. Hal ini membuat satu kutub Uranus menghadap ke Matahari secara terus-menerus sedangkan kutub lainnya menghadap ke arah sebaliknya.

Hanya segaris daerah sempit di sekitar ekuator yang mengalami pergantian siang-malam dengan cepat, namun dengan Matahari sangat rendah dari kaki langit seperti di daerah kutub di Bumi. Pada sisi orbit Uranus yang lain orientasi kutub-kutubnya terhadap Matahari adalah sebaliknya. Tiap kutub terus-menerus disinari Matahari sekitar 42 tahun, diikuti dengan 42 tahun yang gelap.

Uranus berotasi menggelinding diperkirakan akibat suatu peristiwa yang mahadahsyat yang mengubahnya menjadi sebagaimana keadaannya sekarang. Sebagian teori menyatakan bahwa saat pembentukan Tata Surya, cikal bakal planet sebesar Bumi bertumbukan dengan Uranus dan menyebabkan sumbu rotasinya berubah menjadi sangat miring.

Ada juga teori yang tidak melibatkan tumbukan. Simulasi yang dilakukan Boue dan Laskar dari Observatorium Paris menunjukkan bahwa Uranus dahulu sekali punya satelit alami yang sangat besar. Massa satelit alami ini, meskipun hanya 0,1% massa Uranus, mampu menarik sumbu rotasi Uranus dalam waktu jutaan tahun. Lalu, kemana satelit alami ini pergi? Kemungkinan besar 'tertendang' oleh gravitasi ketika planet masif lainnya lewat.

Credit : Infoastronomy

Kamis, 15 September 2016

Planet-Planet Asing Paling Mirip Bumi Berhasil Dikatalogkan

Ilustrasi planet-planet mirip Bumi.

Sebuah tim astronom internasional telah mengonfirmasi planet-planet asing paling mirip Bumi dari 4.000 an planet asing yang ditemukan oleh Teleskop Antariksa Kepler. Katalog planet terbaru ini berisi senarai planet yang paling mirip dengan planet rumah kita, Bumi.

Penelitian yang telah diterbitkan dalam Astrophysical Journal ini menguraikan kurang lebih 216 planet yang terletak di dalam zona laik huni, sebuah zona atau daerah di sekitar bintang induk yang memungkinkan permukaan planet bisa menahan air dalam bentuk cair. Dari 216 planet ini, 20 diantaranya merupakan kandidat terbaik untuk menjadi planet berbatu yang dapat dihuni seperti Bumi.

"Ini adalah katalog terlengkap dari semua penemuan Kepler yang menguraikan planet-planet yang berada di zona habitasi bintang induknya," kata Stephen Kane, seorang profesor fisika dan astronomi di San Francisco State University dan penulis utama studi tersebut. "Itu berarti kita bisa fokus pada planet-planet dalam makalah penelitian ini dan melakukan studi lanjutan untuk belajar lebih banyak tentang mereka, termasuk jika mereka memang laik huni."

Penelitian ini juga menegaskan adanya bukti tambahan bahwa alam semesta ini penuh dengan planet-planet di mana kehidupan bisa berpotensi muncul. Mempelajari batas-batas zona laik huni juga sangat penting. Jika planet terlalu dekat dengan bintang induknya, planet tersebut akan mengalami efek gas rumah kaca, seperti venus. Tapi kalau terlalu jauh, air akan membeku, seperti terlihat di Mars.

Batas zona laik huni planet-planet dalam katalog planet mirip Bumi.

Mempelajari dan mengkatalogkan lebih dari 4.000 planet ekstrasurya ini perlu waktu lebih dari 3 tahun dan melibatkan para astronom di NASA, Arizona State University, Caltech, University of Hawaii-Manoa, University of Bordeaux, Cornell University dan Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics.

Mendeteksi Planet Ekstrasurya

Alam semesta terlalu luas jika hanya Bumi saja yang memiliki kehidupan. Penemuan plant-planet ekstrasurya ini dapat membantu kita memahami tentang evolusi planet dan mengetahui apakah ada kehidupan lain selain di Bumi atau tidak.

Menemukan planet ekstrasurya bukanlah hal yang mudah, tapi juga tidak terlalu sulit. Sumber cahaya yang terpancar dari planet-planet sangat samar sekali dibandigngkan dengan bintang induknya. Terlihat pada panjang gelombangnya, biasanya cahaya planet itu memiliki terang cahaya kurang dari satu persejuta dibandingkan bintang induknya.

Disamping sulitnya mendeteksi suatu sumber cahaya yang sangat kecil tersebut, bintang induk cukup menyilaukan sehingga menyamarkan cahaya dari planet tersebut, hal ini yang menyulitkan pendeteksian.

Oleh sebab itu, teleskop yang ada saat ini hanya dapat menangkap gambar eksoplanet secara langsung dalam kondisi tertentu. Secara khusus, mungkin saat planet yang sangat besar (lebih besar dari Jupiter), terpisah jauh dari bintang induknya dan sangat panas sehingga memancarkan radiaso inframerah intens, saat itulah teleskop dapat melihatnya.

Berikut ini metode-metode yang digunakan para astronom untuk mendeteksi planet ekstrasurya.

  • Astrometri: Astrometri adalaj pengukuran posisi bintang di langit dengan cara mengamati perubahan posisinya dari waktu ke waktu. Jika bintang tersebut memiliki planet, maka pengaruh gravitasi planet akan menyebabkan bintang itu sendiri untuk bergerak dalam lintasan elips yang bersama planet tersebut sama-sama mengelilingi pusat massanya.
  • Kecepatan Raidal atau Metode Doppler: Variasi dalam kecepatan yang bergerak ke arah bintang atau jauh dari Bumi, yaitu variasi dalam kecepatan radial dari bintang sehubungan dengan Bumi, dapat dikurangi dari beratnya di bintang induk dari baris spektrum disebabkan oleh Efek Doppler. Ini merupakan reknik paling paling produktif untuk mendeteksi planet asing yang telah lama digunakan.
  • Pulsar Waktu: Sebuah pulsar (sisa dari bintang yang kecil, ultrapadat yang telah meledak sebagai supernova) memancarkan gelombang radio secara teratur ketika berotasi. Anomali sedikit saja dalam sinyal-sinyal radio yang memancar dapat digunakan untuk melacak perubahan pada pulsar dari gerakan yang disebabkan oleh keberadaan planet-planet yang mengelilinginya.
  • Metode Transit: Jika suatu planet melintasi atau transit di depan bintang induknya, maka pancaran cahaya bintang itu sedikit berkurang karena terhalang oleh planet tersebut. Tingkat cahaya bintang yang berkurang tersebut tergantung pada ukuran bintang itu sendiri dan ukuranplanet yang melintasinya. Teleskop Antariksa Kepler menggunakan metode ini.

"Ada banyak kandidat planet di luar sana, sayangnya teknologi teleskop yang kita punya masih terbatas untuk mempelajarinya," kata Kane. "Penelitian ini merupakan loncatan yang sangat besar ke arah untuk menjawab pertanyaan kunci tentang apakah ada kehidupan lain selain Bumi di alam semesta."

Credit : Infoastronomy

Rabu, 14 September 2016

Mengenal Sosok Al-Biruni, Astronom Muslim yang Membuktikan Bumi Bulat



Bumi serta segala isinya merupakan bidang kajian yang menarik perhatian para ilmuan. Peradaban Islam tercatat lebih awal menguasai ilmu Bumi dibandingkan masyarakat Barat. Ketika Eropa terkungkung dalam 'kegelapan' dan masih meyakini bahwa Bumi itu datar di abad pertengahan, para sarjana Muslim telah membuktikan bahwa Bumi bulat seperti bola.

Wacana bentuk Bumi bulat baru berkembang di Barat pada abad ke-16 M. Adalah Nicolaus Copernicus, bapak astronomi modern, yang mencetuskannya. Di tengah kekuasaan Gereja yang dominan, Copernicus yang lahir di Polandia melawan arus dengan menyatakan bahwa seluruh benda di alam semesta berbentuk bola.

Sepertinya halnya peradaban Barat, masyarakat Tiongkok yang lebih dulu mencapai kejayaan dibandingkan dunia Islam pada awalnya meyakini bahwa Bumi itu datar dan kotak. Orang-orang Tiongkok baru mengubah keyakinannya tentang bentuk Bumi pada abad ke-17 M, setelah berakhirnya era kekuasaan Dinasti Ming. Sejak abad itulah, melalui risalah yang ditulis Xiong Ming-yu berjudul Ge Chi Cao wacana bentuk Bumi seperti bola mulai berkembang di Negeri Tirai Bambu.

Sosok Al Biruni dan Bumi Bulat

Sejarah keemasan Islam mencatat cukup banyak polymath atau Orang yang sangat kompeten tidak hanya dalam satu bidang ilmu, namun dalam beberapa bidang ilmu sekaligus. Salah satu diantaranya adalah Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni, yang hidup antara 973 M sampai 1048 M.

Sebagaimana lazimnya anak-anak di masa itu, Al-Biruni sudah hafal Al-Qur'an sebelum baligh. Tentu saja beliau juga belajar ilmu fiqih dasar dan mempelajarinya dengan serius sehingga pada saat berusia baligh beliau sudah mengenal semua syariat Islam yang wajib diketahui dalam kehidupan sehari-hari. Beliau lalu menekuni berbagai cabang ilmu sesuai minatnya.

Pada usia 17, Al-Biruni sudah menghitung posisi lintang bujur dari Kath, Khwarizm, dengan metode tinggi Matahari. Al-Biruni juga memecahkan persamaan geodesi kompleks untuk menghitung jari-jari Bumi. Dan beliau mendapatkan angka sekitar 6339,9 km, hanya berselisih 16,8 km dari nilai modern yaitu 6356,7 km.

Pada usia 22 tahun, Al-Biruni suddah menulis sejumlmah karya ilmiah, termasuk tentang proyeksi peta, penggunaan sistem koordinat 3D-Cartesian (waktu itu belum disebut Cartesian) dan transformasinya ke sistem koordinat polar.

Untuk pengamatan astronomi, Al-Biruni banyak membuat berbagai instrumen astronomi, seperti alat untuk mencari kiblat atau mengukur saat-saat salat di semua tempat di dunia. Al-Biruni secara tegas membedakan astrologi dari astronomi. Dia menolak astrologi karena tidak empiris tetapi hanya menghubung-hubungkan dengan cara yang tidak logis.

Setelah membaca banyak data hasil pengamatannya, Al-Biruni meyakini bahwa Bumi ini bulat, berputar pada porosnya sehari sekali, dan beredar mengelilingi Matahari setahun sekali. Ini hal yang bertentangan dengan pendapat umum saat itu, namun diyakini Al-Biruni paling dekat dengan data-data empiris.

Dan berbeda dengan Ptolomeus, yang hanya memilih data yang sesuai teorinya, Al-Biruni memperlakukan "error" dengan perlakuan yang lebih ilmiah, termasuk memperbaiki teorinya. Inilah yang kemudian melahirkan dukungannya pada teori heliosentris Copernicus, dan meninggalkan teori geosentris Ptolomeus. Beliau juga mengatakan bahwa orbit planet-planet itu bukan lingkaran, tetapi elips.

Credit : Infoastronomy

Minggu, 11 September 2016

Membandingkan Ukuran Bumi Dengan Planet Jupiter



Sejah Galileo Galilei pertama kali mengamati planet Jupiter pada tahun 1610 menggunakan teleskop yang ia desain sendiri, para ilmuwan dan astronom di dunia telah sangat terpesona oleh planet Jovian yang satu ini. Seperti apa jadinya dika Bumi dibandingkan dengan Jupiter?

Jupiter merupakan planet terbesar di Tata Surya kita. Planet ini merupakan kumpulan besar gulungan gas dan badai yang dahsyat. Ukuran Jupiter hanya sedikit lebih kecil dari ukuran bintang katai coklat, namun Jupiter tidak dapat diklarifikasikan sebagai bintang katai coklat karena tidak memancarkan cahaya sendiri.

Gaya gravitasi Jupiter yang besar juga sukses mengikat lebih dari 60 satelit alami dalam orbit yang mengitarinya. Setidaknya ada 4 satelit alami besar milik Jupiter, yakni Io (diameter 3.642km), Europa (3.122km), Ganymede (5.262km) dan Callisto (4.820km). Keempat satelit ini disebut satelit Galilean karena Galileo menemukannya saat sedang mengamati Jupiter untuk kali pertama.

Ukuran, Massa dan Kepadatan

Bumi memiliki radius rata-rata 6.371km dan massa 5,97 x 10^24kg, sedangkan Jupiter memiliki radius rata-rata 69.911km dan massa 1,8986 x 10^27kg. Sederhananya, Jupiter berdiameter hampir 11 kali diameter Bumi, dan volumenya 1.321 kali lebih besar dari Bumi. Namun, kepadatan Bumi secara signifikan lebih tinggi, karena merupakan planet terestrial (berbatu), yakni 5,514g/cm³, dibandingkan dengan Jupiter yang hanya 1,326 g/cm³.

Karena itu, sebagai planet gas raksasa, Jupiter tidak memiliki permukaan yang padat dan berbatu seperti Bumi, melainkan hanya gas dan gas saja. Diperkirakan tekanan atmosfer Jupiter sama dengan 1 bar, yakni tekanan pada permukaan laut Bumi.

Perbandingan ukuran Jupiter, Bumi dan Bulan.

Komposisi dan Struktur

Bumi adalah planet terestrial, yang berarti terdiri dari mineral silikat dan logam yang dibedakan antara inti logam dan mantel silikat dan kerak. Inti itu sendiri juga dibedakan, antara inti dalam dan inti luar (yang berputar dalam arah yang berlawanan rotasi Bumi). 

Bentuk Bumi sendiri tidak bulat sempurna, melainkan bulat pepat (oblate spheroid), sebuah bentuk bola yang sedikit pipih di kedua kutubnya, sehingga ada semacam tonjolan di sekitar khatulistiwa. Tonjolan di khatulistiwa Bumi ini adalah hasil dari rotasi Bumi, dan menyebabkan diameter di khatulistiwa menjadi 43 kilometer lebih besar dari diameter dari kutub ke kutub.

Sebaliknya, Jupiter tersusun dari materi gas dan cairan yang terbagi antara atmosfer gas di luar dan interior yang lebih padat. Atmosfer luar Jupiter terdiri dari sekitar 88-92% hidrogen dan 8-12% helium dengan sisanya terdiri dari unsur-unsur lain.

Atmosfer mengandung jumlah jejak metana, uap air, amonia dan senyawa berbasis silikon serta jumlah jejak benzena dan hidrokarbon lainnya. Ada juga jejak karbon, etana, hidrogen sulfida, neon, oksigen, fosfin dan sulfur. Kristal amonia beku juga telah diamati di lapisan terluar atmosfer.

Sementara itu, diyakini bahwa inti JUpiter adalah campuran elemen-elemen padat, lapisan di sekitarnya adalah hidrogen metalik cair dengan beberapa helium, dan lapisan luar terutama terbentuk dari molekul hidrogen. Inti Jupiter juga telah dikatehui merupakan inti berbatu, tidak seperti atmosfer luarnya yang hanya gas saja.

Juga seperti Bumi, bentuk Jupiter adalah bulat pepat. Bahkan, pipihnya kutub Jupiter nampak lebih besar daripada Bumi, yakni 0,06487 ± 0,00015, dibandingkan dengan Bumi yang hanya 0,00335. Hal ini disebabkan Jupiter yang terotasi sangat cepat, menyebabkan radius khatulistiwa planet Jupiter sekitar 4600km lebih besar dari diameter dari kutub ke kutub.

Credit : Infoastronomy

Jumat, 09 September 2016

Kenapa Kita Tidak Merasakan Rotasi Bumi?



Bumi berputar pada porosnya sekali setiap 24 jam dalam waktu surya, atau 23 jam 56 menit 4 detik dalam waktu sideris.

Di khatulistiwa Bumi, kecepatan putaran Bumi sekitar 1.600km per jam. Jika Bumi memang berotasi seperti itu, kenapa kita tidak merasakannya? Ini dikarenakan kita sama-sama bergerak di permukaan Bumi dengan kecepatan yang konstan.

Sekarang bayangkan ketika kalian sedang naik mobil atau terbang dengan pesawat. Selama perjalnan yang berjalan lancar, kalian dapat meyakinkan diri kalian tidak bergerak. Kalian bergerak bersama mobil atau pesawat kalian kan?

Dan ketika pramugari datang dan menuangkan kopi ke cangkir kalian di dalam pesawat terbang, kopi tersebut tidak terbang ke bagian belakang pesawat. Itu karena kopi, cangkir dan kalian semua bergerak pada kecepatan yang sama seperti pesawat.

Sekarang coba bayangkan apa yang akan terjadi jika mobil atau pesawat tidak bergerak dengan laju yang konstan, melainkan supir atau pilot mempercepat dan memperlambat mobil dan pesawat tersebut. Kemudian, ketika prmugari menuangkan kopi kalian, tumpak tidak karuan.

Demikian jug, Bumi bergerak dengan konstan, dan kita semua bergerak bersama dengan Bumi, dan itulah mengapa kita tidak meraskan putaran rotasi Bumi. Jika putaran Bumi lebih cepat atau melambat secara tiba-tiba, kalian pasti akan merasakannya.

Credit : Infoastronomy

Jumat, 29 Juli 2016

Inilah Yang Terjadi Jika Kita Berdiri Di Permukaan Planet Jupiter


Di bumi, kita telah terbiasa berjalan-jalan dan mampu berdiri di permukaan berbatunya. Namun, di Jupiter yang merupakan planet gas raksasa, pengalaman berdiri di permukaan Bumi akan terasa berbeda. Bagaimana jadinya jika berdiri di permukaan Jupiter?

Mari kita sejenak mengabaikan kondisi ekstrim seperti kuatnya gravitasi, tekanan atmosfer, suhu tinggi dan angin tornado yang ditemukan di planet gas raksasa seperti Jupiter, dan mari kita turun melalui atmosfernya.

Tidak seperti Bumi yang permukaannya berbatu, permukaan Jupiter merupakan hidrogen yang memiliki 60% kepadatan air. Jadi, jika kita berdiri disana, kita akan tenggelam hingga puluhan ribu kilometer sampai mencapai inti Planet Jupiter yang amat sangat luar biasa panas dan berbatu.

Interior Jupiter tersebut belum mampu dipetakan, dan itulah salah satu tujuan ilmiah misi Juno, yang baru mencapai Jupiter pada 4 Juli 2016 lalu. Wahana antariksa Juno akan menggunakan pengukuran gravitasi dan elektromagnetik yang tepat untuk memetakan apa yang terjadi di bawah atmosfer Jupiter.

Seperti yang sudah dipelajari oleh kita di bangku sekolah dasar, Jupiter adalah planet yang benar-benar hangat, dengan bagian atas atmosfer bersuhu sekitar 630°C. Namun, jika kita nekat mendarat di Jupiter lalu terhisap turun karena permukaannya adalah gas, tempratur juga akan semakin turun serta tekanan dan kecepatan angin akan lebih meningkat.

Wahana antariksa Galileo, yang menyelam ke Jupiter pada tahun 1995, langsung mengalami kerusakan alat elektronik sekitar 58 menit ketika berada di kedalaman 156 kilometer di dalam atmosfer Jupiter. Wahana antariksa Galieo tersebut mencatat bahwa ia menerima tekanan 23 atmosfer dan suhu 153°C. Sebuah kombinasi yang terbukti mematikan.

Jadi, mendarat di permukaan Jupiter bukanlah hal yang seharusnya tidak dilakukan, sangat berbahaya. Alih-alih membangun koloni manusia di permukaan planet terbesar di Tata Surya kita tersebut, kita justru akan tewas secara mengenaskan.

Credit : InfoAstronomi