Tampilkan postingan dengan label Alam Semesta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Alam Semesta. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 April 2018

Mengenal Syarat Kelaikhunian Baru untuk Sebuah Planet Ekstrasurya


Sampai pada artikel ini ditulis, pencarian dan penemuan planet-planet ekstrasurya--planet yang berada di luar Tata Surya kita--masih berlangsung. Dan menurut para astronom dari Universitas Yale, Connecticut, AS, saat ini diperlukan syarat kelaikhunian bagi planet-planet asing tersebut.

Selama beberapa dekade terakhir, para astronom berpikir bahwa faktor kunci dalam menentukan apakah sebuah planet dapat mendukung kehidupan adalah jarak dari bintang induknya. Di Tata Surya kita misalnya, jarak Venus terlalu dekat dengan Matahari dan Mars terlalu jauh, dan Bumi lah yang berada di jarak yang tepat. Jarak yang para ilmuwan sebut sebagai "zona laik huni" atau "Zona Goldilocks."

Planet yang berada di Zona Goldilocks dianggap mampu mengatur suhu internal mereka secara mandiri melalui konveksi di mantel planetnya. Sebuah planet yang berada di Zona Goldilock mungkin pada awalnya masih terlalu dingin atau terlalu panas, namun pada akhirnya suhunya akan stabil.

Namun, sebuah studi baru yang muncul di jurnal Science Advances pada 19 Agustus 2016 menunjukkan bahwa, ternyata planet ekstrasurya yang berada di zona layak huni saja belum atau bahkan tidak cukup untuk mendukung kehidupan. Sebuah planet ekstrasurya tersebut juga harus memiliki suhu internal yang sudah tepat dan stabil sejak awal.

"Jika Anda menganalisa semua jenis data ilmiah tentang bagaimana Bumi telah terbentuk dan berkembang dalam beberapa miliar tahun, Anda akan menyadari bahwa pemanasan atau konveksi pada mantel Bumi tidak ada pengaruhnya terhadap suhu internal," kata Jun Korenaga, penulis studi ini dan seorang profesor geologi dan geofisika di Universitas Yale.

Ukuran dan suhu internal planet diperkirakan tidak akan menghambat evolusi planet jika planet tersebut mampu mengatur pemanasan mantelnya, kata Korenaga. "Lautan air cair dan benua tidak akan ada jika suhu internal Bumi tidak berada di kisaran tertentu sejak awal pembentukannya, dan ini berarti bahwa Bumi muda suhunya tidak terlalu panas atau terlalu dingin, melainkan sudah stabil."






Tak Laik Huni Walau Memiliki Lautan Air


Yann Alibert dari Physikalisches Institut & Center for Space and Habitability, Universitas Bern, Swiss, menyatakan bahwa radius sebuah planet memiliki peran penting dalam mendukung kehidupan di planet laik huni. Untuk itu, ia kemudian melakukan penelitian untuk menemukan kondisi yang pas untuk sebuah planet menjadi planet laik huni.

Dalam penelitian ini, Alibert mencari tahu radius maksimum bagi sebuah planet untuk memiliki permukaan air berwujud cair dan tidak memiliki lapisan es di lautannya. Hasilnya? Analisis Alibert menunjukkan kalau eksoplanet dengan lautan tidak akan bisa mendukung kehidupan jika ukurannya terlalu besar sehingga meskipun planet-planet besar memiliki air, kehidupan tidak akan dapat berevolusi di dalamnya.

Jadi apa yang menyebabkan sebuah planet tidak laik huni? Menurut Alibert, kondisi paling penting adalah keberadaan siklus karbon yang menjadi penyangga perubahan temperatur jika bintang induk mengalami perubahan temperatur jadi lebih panas atau dingin.

Di Bumi, siklus karbon melibatkan penangkapan karbon dioksida saat larut dalam lautan dan kemudian bereaksi dengan silikat di dasar laut sehingga memproduksi karbonat yang kemudian masuk ke inti Bumi. Temperatur yang tinggi di inti Bumi berfungsi untuk memecah karbonat dan melepas karbon dioksida melalui aktivitas vulkanik.

Proses inilah yang mengatur perubahan temperatur atmosferik. Jika temperatur turun, maka hanya sedikit karbon dioksida yang larut, menyisakan sebagian besar di atmosfer sehingga bisa menaikkan temperatur lagi. Dan, jika temperatur naik, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Siklus ini penting untuk mencegah terjadinya perubahan temperatur secara drastis yang bisa mengubah planet menjadi bola salju raksasa atau padang gurun raksasa yang gersang.

Meskipun demikian, tidak ada jaminan bahwa planet yang lebih kecil dari ukuran tersebut sudah pasti akan mendukung kehidupan. Ada komponen lain seperti massa, kerapatan, dan senyawa penyusun planet yang harus diperhitungkan.

Akan tetapi untuk planet yang lebih besar dari nilai ambang batas tersebut dipastikan tidak akan mampu memiliki siklus karbon sehingga dapat diklasifikasikan sebagai planet yang tidak laik huni. Kriteria yang dibuat Alibert diharapkan bisa menjadi salah satu kriteria bagi para astronom saat mempelajari planet-planet yang berada di area laik huni.

Sumber : Infoastronomy.org

Jumat, 11 November 2016

Alam Semesta Teramati Ternyata Lebih Kecil Dari Perkiraan Awal



Untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, para ilmuan telah memperbarui pengukuran radius alam semesta teramati (observable universe). Dan ternyata, alam semesta teramati tidak sebesar yang kita kira sebelumnya.

Dalam pengukuranterbaru ini, dikatehui bagian dari alam semesta yang secara teknis terlihat dari Bumi sekarang menyusut sekitar 320 juta tahun cahaya ke segala arah.

Merekalah fisikawan Paul Halpern dan Nick ROmasello dari University of Siebces di Pgiladelphia, AS, yang telah menggunakan data perluasan alam semesta terbaru yang dikumpulkan oleh wahana antariksa Planck milik Agensi Antariksa Eropa (ESA), dan menemukan bahwa tepi dari alam semesta teramati sebenarnya 0,7 persen lebih kecil daipada perkiraan awal.

Mereka mengatakan bahwa dengan menggunakan pengukuran yang lebih akurat ini, mereka telah berhasil mendapatkan radius alam semesta teramati dari yang awalnya 45.660.000.000 tahun cahaya, saat ini hanya 45.340.000.000 tahun cahaya (1 tahun cahaya adalah sekitar 9,5 triliun km).

"Perbedaan 320 juta tahun cahaya mungkin tidak terlalu berarti pada skala kosmik, tapi tetap saja ini membuat alam semesta teramati yang kita ketahui ternyata lebih kecil," ujar Tomasello.

Alam semesta tramati merupakan sebuah konsep dimana sejumlah galaksi dan materi-materi lain, secara teori, dapat diamati dari Bumi pada saat ini. Cahaya-cahaya dari benda-benda id alam semesta teramati ini telah punya cukup waktu untuk mencapai penglihatan kita sejak kelahiran alam selesta sekitar 13,7 miliar tahun lalu.

Diansumsikan alam semesta adalah isotropik, jarak ke ujung-ujung alam semesta teramati kira-kira sama ke segala arah. Maka, alam semesta termati adalah sebuah volume bola yang pusatnya di pengamat. Setiap lokasi di alam semesta memiliki alam semesta termatinya masing-masing, yang mungkin atau mingkin juga tidak tumpang tindih dengan yang berpusat di Bumi.

Kata teramati di sini tidak ada hubungannya dengan kemampuan teknologi modern untuk mendeteksi radiasi dari objek di dalam daerah ini, melainkan dengan kemungkinan cahaya atau radiasi lain dari objek mencapai pengamat. Pada praktiknya, kita hanya dapat melihat cahaya sejauh ketika foton terbelah ketika masa rekombinasi.

Han ini terjadi ketika pertikel pertama klali dapat melepas foton yang kemudian tidak cepat terserap kembalo oleh partikel lainnya. Sebelum itu, alam semesta terisi oleh plasma yang tidak tembus cahaya ke foton. Gelombang gravitasi yang terdeteksi menandakan bahwa saat ini ada kemungkinan untuk mendeteksi sinyal non-cahaya dari sebelum masa rekombinasi.

Estimasi terbaik usia alam semesta pada 2015 adalah 13,799±0,021 miliar tahun, namun karena adanya ekspansi alam semesta maka manusia mengamati objek yang awalnya sangat dekat namun saat ini menjadi sangat jauhm lebih dari jarak tetap 13,8 miliar tahun cahaya.

Diperkirakan diameter alam semesta teramati adalah sekitar 28,5 gigapersecs (93 miliar tahun cahaya), menjadikan ujung alam semesta teramati berjarak sekitar 45,34 miliar tahun cahaya (menurut perhitungan terbaru ini)

Rabu, 20 Juli 2016

Observasi Lebih Dalam Ke Jantung Nabula Orion


Sebuah tim astronom internasional menggunakan instrumen inframerah para Very Large Telescope (VLT) milik European South Observatory di Cile sukses mendapatkan citra pandangan terdalam dan paling komprehensif dari Nebula Orion.

Tidak hanya mendapatkan citra yang spektakuler, tim astronom ini juga berhasil mengungkapkan melimpahnya objek eksotis bernama katai coklat yang redup serta objek obkek bermassa planet yang awalnya belum diketahui. Kehadiran objek objek semacam ini memberikan wawasan menarik ke dalam sejarah pembentukan bintang dalam nebula itu sendiri.

Nebula Orion merupakan nebula paling terkenal, di langit malam yang bersih dan bebas polusi, kita bahkan dapat melihatnya dengan mata telanjang. Nebula Orion berdiameter sekitat 24 tahun cahaya dan berada di konstelasi Orion. Beberapa nebula seperti Nebula Orion ini diterangi oleh radiasi ultraviolet dari banyak bintang panas yang tercipta dalam jantung mereka, sehingga gas antar bintang yang terionisasi dapat bersinar sangat cerah.

Selain itu, jarak Nebula Orion dengan Bumi yang relatif dekat juga membuatnya menjadi nebula "laboratorium" yang ideal untuk lebih memahami peoses dan sejarah pembentukan bintang, dan untuk menentukan berapa banyak bintang dengan massa yang berbeda.

Amelia Bayo dari Max-Planck Intitut für Astronomie, Königstuhl, Jerman, salah satu penulis makalah studi ini dan anggota tim peneliti, menjelaskan mengapa mempelajari Nebula Orion cukip penting, "Memahami begaimana banyak objek bermassa rendah yang ditemukan di Nebula Orion sangat penting untuk membatasi teori pembentukan bintang. Kami sekarang menyadari bahwa melimpahnya objek bermassa rendah tergantung pada lingkungan sekitar mereka."

Citra terbaru dari VLT ini membuat para astronom bersuka cita karena mengungkapkan melimpahnya objek bermassa rendah yang tak terduga, yang pada gilirannya menunjukkan bahwa Nebula Orion dapat membentuk lebih banyak bintang dari yang diperkirakan sebelumnya.

Pengamatan ini juga mengisyaratkan bahwa jumlah objek bermassa planet mungkin jauh lebih banyak dari yang diperkirakan sebelumnya. Sementara teknologi untuk mengamati objek objek ini belum tersedia, setidaknya sampai tahun 2024 mendatang ketika ESO akan mulai mengoperasikan Europan Extremely Large Telecope (E-ELT).

Credit : Infoastronomy