Selasa, 25 September 2018

Proses Kelahiran dan Pembentukan Galaksi

Galaksi Bunga Matahari, M63. Kredit: Bills Nyder

Galaksi adalah sebuah sistem masif yang terikat gaya gravitasi yang terdiri atas bintang (dengan segala bentuk manifestasinya, antara lain bintang neutron dan lubang hitam), gas dan debu medium antarbintang, serta materi gelap. Tahukah Anda bagaimana galaksi bisa terbentuk?

Galaksi tidak tersebar secara acak di alam semesta, tetapi sering ditemukan di sebuah "gugus galaksi", yang pada gilirannya juga merupakan bagian dari kelompok yang lebih besar yang disebut "super-gugus galaksi."

Para astronom di paruh kedua abad ke-20 telah banyak membuat penemuan yang menakjubkan, memperluas pemahaman kita tentang alam semesta. Pengetahuan manusia tentang bagaimana alam semesta tercipta telah tumbuh secara eksponensial. Namun demikian, beberapa pertanyaan mendasar masih belum terjawab, salah satunya; bagaimana galaksi pertama terbentuk?

Model kosmologi yang ada saat ini mengenai alam semesta awal didasarkan pada teori Dentuman Besar (Big Bang). Sekitar 300.000 tahun setelah peristiwa Big Bang, atom-atom hidrogen dan helium mulai terbentuk, dalam sebuah peristiwa yang disebut rekombinasi. Hampir semua hidrogen adalah netral (tidak terionisasi) dan dengan mudah menyerap cahaya, serta belum ada bintang yang terbentuk.

Akibatnya periode ini disebut "Zaman Kegelapan". Dari fluktuasi kepadatan (atau ketidakseragaman anisotropi) dalam materi purba inilah struktur-struktur yang lebih besar mulai muncul. Hasilnya, massa materi barionik mulai memadat dalam cincin cahaya materi gelap dingin. Struktur-struktur primordial inilah yang akhirnya menjadi galaksi yang kita lihat hari ini. 

Bukti tentang kemunculan awal galaksi ditemukan pada tahun 2006, ketika diketahui bahwa galaksi IOK-1 memiliki pergeseran merah (red shift) yang luar biasa tinggi sebesar 6,96, setara dengan jangka waktu hanya 750 juta tahun setelah Big Bang.

Hal ini menjadikannya sebagai galaksi terjauh dan paling purba yang pernah dilihat. Meskipun beberapa ilmuwan mengklaim objek lainlah (misalnya galaksi Abell 1835 IR1916) yang memiliki red shift lebih tinggi (dan karena itu sudah ada pada tahap yang lebih awal dalam evolusi alam semesta), namun usia dan komposisi IOK-1 ditentukan dengan cara yang lebih dapat diandalkan. 

Adanya protogalaksi yang seawal itu kemunculannya menunjukkan bahwa protogalaksi tersebut pastilah berkembang dalam apa yang disebut "Zaman Kegelapan". Namun, pada bulan Maret 2016 para astronom melaporkan bahwa galaksi GN-z11 adalah galaksi terjauh yang diketahui dengan nilai red shift 11,1. Galaksi tersebut diperkirakan sudah ada sejak sekitar 400 juta tahun setelah Big Bang. 


Citra galaksi terjauh, GN-z11. Kredit: NASA/ESA/Hubble


Diketahui galaksi GN-z11 ini diperkirakan terletak pada jarak 13,4 miliar tahun cahaya, dan karena pemuaian alam semesta, saat ini diperkirakan galaksi GN-z11 terletak lebih dari 32 miliar tahun cahaya dari Bumi.

Bagaimana proses rinci terbentuknya galaksi seawal itu berlangsung masih merupakan sebuah pertanyaan pokok yang belum terjawab dalam astronomi. Teori yang ada dapat dibagi dalam dua kategori: dari atas ke bawah (top-down) atau dari bawah ke atas (bottom-up).

Dalam teori top-down (seperti model Eggen-Lynden-Bell-Sandage [ELS]), protogalaksi terbentuk dalam sebuah runtuhan serentak berskala besar yang berlangsung selama kira-kira seratus juta tahun. Dalam teori bottom-up (seperti model Searle-Zinn [SZ]), struktur kecil seperti gugus bola terbentuk dahulu, lalu kemudian sejumlah struktur tersebut bergabung untuk membentuk galaksi yang lebih besar. 

Begitu protogalaksi mulai terbentuk dan mengerut, bintang-bintang halo pertamapun (disebut bintang Populasi III) muncul di dalamnya. Bintang-bintang ini tersusun hampir seluruhnya oleh hidrogen dan helium dan kemungkinan berukuran masif. 

Jika memang benar demikian, maka bintang-bintang yang sangat besar ini akan menghabiskan pasokan bahan bakarnya dengan cepat dan menjadi supernova, melepaskan unsur-unsur berat ke medium antarbintang. Bintang-bintang generasi pertama ini mengionisasi ulang hidrogen netral sekitarnya, menciptakan gelembung ruang yang mengembang yang bisa dengan mudah dilalui cahaya. 

Sumber: infoastronomy

Senin, 16 April 2018

Revols: Headset Nanoteknologi Wireless yang Dapat Menyesuaikan Struktur Telinga Kita

Saat ini mendengarkan musik merupakan suatu aktivitas yang tidak dapat lepas dari kehidupan kita. Untuk mendengarkan musik dengan maksimal kita biasa memakai alat bantu yang bernama Headset/earphone. Tetapi, mungkin kita akan bosan dengan headset yang begitu-begitu saja. Kita butuh inovasi yang revolusioner guna memperbaiki performa headset agar lebih bisa kita nikmati.


Headset Mainstream dan Berbagai Kelemahannya

Teman-teman masih memakai headset?? Coba teman-teman rasakan, apakah nyaman kita memakainya?? Mungkin saja tidak, hal ini disebabkan karena struktur telinga dari masing-masing orang berbeda. Disisi lain, bentuk headset selalu seperti itu dan ukurannya hanya 1 jenis. Selain itu, headset “mainsteam” pasti menggunakan kabel yang membuat kita repot. Ditambah lagi apabila kita sedang beraktivitas yang membutuhkan banyak gerakan,  sudah dipastikan headset yang kita pakai akan lepas. Hm.. banyak juga ternyata kelemahan headset mainstream ini. Inilah yang mendorong di buatnya Revols.

Perbandingan Revols dan Headset Biasa.

Headset Revolusioner Tersebut Bernama Revols

Apabila teman-teman mencari headset yang inovatif, maka salah satu jawabannya adalah Revols. Apa fitur uniknya?? Fitur unik yang ada dalam headset ini adalah bisa menyesuaikan struktur telinga kita. Fitur ini membuat kita akan sangat nyaman ketika menggunakan headset ini. Alhasil momen kita untuk menikmati musik akan lebih terasa nikmat. Selain itu headset ini tidak akan lepas dengan mudah dari telinga kita, sehingga kita bisa menggunakan headset ini sambil melakukan aktivitas yang membutuhkan banyak gerakan.

Revols menggunakan nanoteknologi untuk membuat material yang dapat menyesuaikan struktur telinga. Material tersebut sudah mereka kembangkan cukup lama dan sekarang sudah dapat digunakan. Hanya butuh waktu 60 detik untuk material ini menyesuaikan struktur telinga kita. Dan proses ini dapat dilakukan melalui aplikasi Revols pada smartphone kita.


Masih terkendala kabel?? Jangan khawatir, headset ini tidak membutuhkan kabel untuk terkoneksi dengan gadget kita. Headset ini terkoneksi dengan gadget kita dengan menggunakan bluetooth.

Revols memiliki kemampuan baterai yang cukup hebat. Revols ini dapat hidup selama 8 jam dan apabila membutuhkan waktu lebih lama kita dapat menambahkan baterai cadangan yang mebuat headset ini hidup selama 14 jam.


Campaign Kickstarter

Kickstarter selalu menjadi wadah andalan bagi para inovator untuk membantu manufaktur karyanya. Headset Revolt ini telah berhasil mendapatkan funding lebih dari USD 350.000 hanya dalam 2 hari. Hal ini dikarenakan headset ini telah mengubah paradigma kita mengenai headset yang sebelumnya inovasinya masih stuck ditempat yang sama. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat video campaignnya di bawah ini.


Jumat, 13 April 2018

Mengenal Syarat Kelaikhunian Baru untuk Sebuah Planet Ekstrasurya


Sampai pada artikel ini ditulis, pencarian dan penemuan planet-planet ekstrasurya--planet yang berada di luar Tata Surya kita--masih berlangsung. Dan menurut para astronom dari Universitas Yale, Connecticut, AS, saat ini diperlukan syarat kelaikhunian bagi planet-planet asing tersebut.

Selama beberapa dekade terakhir, para astronom berpikir bahwa faktor kunci dalam menentukan apakah sebuah planet dapat mendukung kehidupan adalah jarak dari bintang induknya. Di Tata Surya kita misalnya, jarak Venus terlalu dekat dengan Matahari dan Mars terlalu jauh, dan Bumi lah yang berada di jarak yang tepat. Jarak yang para ilmuwan sebut sebagai "zona laik huni" atau "Zona Goldilocks."

Planet yang berada di Zona Goldilocks dianggap mampu mengatur suhu internal mereka secara mandiri melalui konveksi di mantel planetnya. Sebuah planet yang berada di Zona Goldilock mungkin pada awalnya masih terlalu dingin atau terlalu panas, namun pada akhirnya suhunya akan stabil.

Namun, sebuah studi baru yang muncul di jurnal Science Advances pada 19 Agustus 2016 menunjukkan bahwa, ternyata planet ekstrasurya yang berada di zona layak huni saja belum atau bahkan tidak cukup untuk mendukung kehidupan. Sebuah planet ekstrasurya tersebut juga harus memiliki suhu internal yang sudah tepat dan stabil sejak awal.

"Jika Anda menganalisa semua jenis data ilmiah tentang bagaimana Bumi telah terbentuk dan berkembang dalam beberapa miliar tahun, Anda akan menyadari bahwa pemanasan atau konveksi pada mantel Bumi tidak ada pengaruhnya terhadap suhu internal," kata Jun Korenaga, penulis studi ini dan seorang profesor geologi dan geofisika di Universitas Yale.

Ukuran dan suhu internal planet diperkirakan tidak akan menghambat evolusi planet jika planet tersebut mampu mengatur pemanasan mantelnya, kata Korenaga. "Lautan air cair dan benua tidak akan ada jika suhu internal Bumi tidak berada di kisaran tertentu sejak awal pembentukannya, dan ini berarti bahwa Bumi muda suhunya tidak terlalu panas atau terlalu dingin, melainkan sudah stabil."






Tak Laik Huni Walau Memiliki Lautan Air


Yann Alibert dari Physikalisches Institut & Center for Space and Habitability, Universitas Bern, Swiss, menyatakan bahwa radius sebuah planet memiliki peran penting dalam mendukung kehidupan di planet laik huni. Untuk itu, ia kemudian melakukan penelitian untuk menemukan kondisi yang pas untuk sebuah planet menjadi planet laik huni.

Dalam penelitian ini, Alibert mencari tahu radius maksimum bagi sebuah planet untuk memiliki permukaan air berwujud cair dan tidak memiliki lapisan es di lautannya. Hasilnya? Analisis Alibert menunjukkan kalau eksoplanet dengan lautan tidak akan bisa mendukung kehidupan jika ukurannya terlalu besar sehingga meskipun planet-planet besar memiliki air, kehidupan tidak akan dapat berevolusi di dalamnya.

Jadi apa yang menyebabkan sebuah planet tidak laik huni? Menurut Alibert, kondisi paling penting adalah keberadaan siklus karbon yang menjadi penyangga perubahan temperatur jika bintang induk mengalami perubahan temperatur jadi lebih panas atau dingin.

Di Bumi, siklus karbon melibatkan penangkapan karbon dioksida saat larut dalam lautan dan kemudian bereaksi dengan silikat di dasar laut sehingga memproduksi karbonat yang kemudian masuk ke inti Bumi. Temperatur yang tinggi di inti Bumi berfungsi untuk memecah karbonat dan melepas karbon dioksida melalui aktivitas vulkanik.

Proses inilah yang mengatur perubahan temperatur atmosferik. Jika temperatur turun, maka hanya sedikit karbon dioksida yang larut, menyisakan sebagian besar di atmosfer sehingga bisa menaikkan temperatur lagi. Dan, jika temperatur naik, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Siklus ini penting untuk mencegah terjadinya perubahan temperatur secara drastis yang bisa mengubah planet menjadi bola salju raksasa atau padang gurun raksasa yang gersang.

Meskipun demikian, tidak ada jaminan bahwa planet yang lebih kecil dari ukuran tersebut sudah pasti akan mendukung kehidupan. Ada komponen lain seperti massa, kerapatan, dan senyawa penyusun planet yang harus diperhitungkan.

Akan tetapi untuk planet yang lebih besar dari nilai ambang batas tersebut dipastikan tidak akan mampu memiliki siklus karbon sehingga dapat diklasifikasikan sebagai planet yang tidak laik huni. Kriteria yang dibuat Alibert diharapkan bisa menjadi salah satu kriteria bagi para astronom saat mempelajari planet-planet yang berada di area laik huni.

Sumber : Infoastronomy.org