Saat itu, Rasulullah sedang suduk di suatu datatan tinggi di kota Mekah, menyambut para utusan yang datang dari Yastrib (Madinah) dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui kaum Quraisy. Mereka yang datang ini tersiri dari 12 orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum Anshar (penolong Rasul)
Mereka akan berbaiat kepada Rasulullah, yang kelak disebut dengan Bai'at Aqabah Ula (pertama). Merekalah pembawa dan penyiar Islam pertama ke Yatsrib. Dan bai'at merekalah yang membuka jalan bagi hijrahnya Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya membawa kemajuan bagi Islam. Salah seorang dari utusan yang dibai'at itu adalah Abdullah bin Rawahah.
Ibnu Rawahah adalah seorang penulis dan penyair ulung. Untaian syair-syairnya begitu kuat dan indah didengar. Sejak memeluk Islam, ia membangkitkan kemampuan bersyairnya untuk mengabdi bagi kejayaan Islam. Rasulullah sangat menyukai dan menikmati syair-syairnya, serta sering menganjurkan kepadanya untuk lebih tekun lagi membuat syair.
Pada suatu hari, Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah. Lalu Nabi bertanya kepadanya "Apa yang kau lakukan jika hendak mengucapkan syair?"
Abdullah menjawab, "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan."
Ia kemudian mengucapkan syair tanpa pikir panjang. "Wahai putra Hasyim, sungguh Allah telah melebihkanmu keutamaan, di mana orang lain takkan iri. Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini pada dirimu. Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka. Seandainya engkau bertanya dan memimta pertolongan kepada mereka untuk memecahkan persoalan, tiadalah mereka hendak menjawab atau membela. Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang engkau bawa. Sebagaimana ia telah mengukuhkan dan memveri pertolongan kepada Musa."
Mendengar itu, Rasulullah gembira dan ridha kepadanya. Beliau bersabda, "Dan kamu pun akan diteguhkan Allah."
Ketika Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada Umrah Qadha, Ibnu Rawahah berada di depan beliau sambil berdyair, "Oh Tuhan, kalaulah tidak kepada Engkau, niscaya kami tidaklah akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedekah dan shalat. Maka mohon turunkan sakinah atas kamu dan teguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang. Sesungguhnya orang-orang yang telah aniaya terhadap kami, bila mereka membuat fitnah, akan kamu tolak dan kami tentang."
Suatu ketika Abdullah bin Rawahah sangat berduka dengan turunnya ayat "Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat." (QS Asy-Syu'ara: 224).
Namun kedukaanbya terhibur dengan turunnya ayat lain, "Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya." (QS Asy-Syu'ara: 227)
Ketika kaum Muslimin terjun ke medan perang demi membela kalimat Allah, Abdullah bin Rawahah turut tampil membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyah dan Khaibar. Ia menjadikan kalimat syairnya sebagai slogan perjuangan. "Wahai diri! Seandainya kamu tidak tewas terbunuh dalam perang, maka kamu akan mati juga!"
Pada waktu perang Mu'tab, balatentara Romawi sedemikian besarnya, hampir 200.000 orang. Sementara barisan kaum Muslimin sangat sedikit. Ketika melihat besarnya pasukan musuh, salah seorang beekata, "Sebaiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar. Mungkin kita akan dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperhatikan tetap maju maka kita patuhi."
Namun Abdullah bin Rawahah berdiri di depan barisan pasukan Muslim. "Kawan-kawan sekalian," teriaknya, "Demi Allah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasarkan bilangan, kekuatan atau jumlah pasukan kita. Tapi kita memerangi mereka demi mempertahankan agama kita ini, yang dengan memeluknya, kita dimuliakan Allah. Ayo, maju! Salah satu dari dua kebaikan pasri kita raih. Kemenangan atau syahid di jalan Allah."
Dengan bersorak-sorai, kaum Muslimin yang berjumlah sedikit namun besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak, "Sungguh, demi Allah, benar apa yang dikatakan Ibnu Rawahah."
Perang pun berkecamuk. Pemimpin pasukan pertama, Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid. Demikian pula dengan pemimpin kedua, Ja'far bin Abi Thalib. Abdullah bin Rawahah kemudian meraih janji perang dari tangan Ja'far dan terus memimpin pasukan. Ia pun terus menerjang barisan tentara musuh yang menyerbu bak air bah. Abdullah bin Rawahah pun gugur sebagai syahid, menyusul sua sahabatnya, Zais san Ja'far.
Pada saat pertempuran berlecamuk dengan sengit si Balqa, bumi Syam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tengah berkumpul dengan para sahabat dalam suatu majelis. Tiba-tiba beliau terdiam, dan air mata menetes di pipinya. Rasulullah memandang para sahabatnya lalu berkata, "Panji perang dipegang oleh Zaid bib Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga gugur sebagai syahid. Kemudian diambil alih oleh Ha'far, ia bertempur dan syahid juga. Kemudian panji itu dipegang oleh Abdullah bin Rawahah dan ia bertempur, lalu gugur sebagai syahid."
Rasulullah kemudian terdiam sebentar, sementara nata beliau masih berkaca-kaca, menyiaratkan kebahagiaan, ketentraman dan kerinduan. Kemudian beliau bersabda, "Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku si surga."
Senin, 15 Agustus 2016
Senin, 01 Agustus 2016
Kaum Miskin Urban, Anak Muda Kere Yang Penting Eksis
Pernah dengar yang namanya kaum miskin urban? Pernah membaca tulisan Gayatri Jayaraman, kontributor BuzzFeed di India. Kalau kamu pernah baca, mungkin bisa memahami istilah itu. Kaum miskin urban kerap ditunjukan kepada mereka para generasi muda yang rela menahan lapar dan menghabiskan seluruh pendapatannya demi sebuah eksistensi belaka dengan nongkrong di tempat-tempat ngehits dan bisa diposting di Instagram.
Gayatri menulis cerita kaum miskin urban berdasarkan observasinya di India, tapi jangan salah. Fenomena anak-anak muda kere yang penting eksis itu faktanya ada di berbagai kota besar di Indonesia. Kamu tentu akan biasa melihat segerombolan anak-anak lulusan sarjana atau masih sekolah dan kuliah yang nongkrong di cafe-cafe mahal. Disebut mahal karena untuk sekali makan dan minum disana bisa habis hingga ratusan ribu rupiah.
Ya, itulah mereka generasi milenial yang ingin dianggap kekinian. Gadget yang mahal seperti iPhone, MacBook, GoPro atau kamera Mirrorless keluaran terbaru adalah hal wajib bagi mereka. Namun kaum miskin urban ini punya beragam hal yang bisa bikin kamu miris melihatnya. Miris, tapi itulah yang terjadi saat ini. Tak cuna Gayatri, Mardiyah Chamim, seorang jurnalis Tempo juga punya cerita soal kaum urban miskin yang penting eksis ini.
Berbarang Mewah Meski Kredit
Siapa sih yang tidak mau memiliki mobil? Mobil adalah amunisi utama anak-anak muda kekinian. Beruntung kalau orangtuamu serba kecukupan dan menghadiahimu mobil. Namun bagi mereka yang baru lulus sarjana dan bekerja di perusahaan, mobil adalah hal wajib yang juga simbol kesuksesan. Yang jadi persoalan, kaum urban ini terkadang tak sadar jika gaji mereka yang di atas lima juta rupiah itu tersedot hampir seluruhnya untuk membayar barang kredit. Memang sih senang bisa punya mobil, sepeda motor sport dan gadget mahal, tapi apakah kamu bisa tenang setiap gajian tiba, uangmu meluncur ke berbagai rekening membayar hutang kreditan?
Nongkrong di Tempat Hits
Starbucks, Potato Head, restoran Paul di Pacific Place atau Deli Union di Grand Indonesia adalah perwakilan beberapa tempat nongkrong dengan harga mentereng di Jakarta. Namun bagi kaum urban ini, sekedar sarapan di sana atau menjamu klien di tempat mahal adalah kewajiban. Untuk apa? Lagi-lagi demi eksis. Siapa sih yang tidak akan bangga bisa check in Path atau memposting foto di Instagram saat berada di sana? Tidak masalah jika uang jatah makan seminggu habis karena cuma sekali nongkrong di tempat hits. Hasilnya anak-anak muda ini kerap harus menahan lapar dan cuma makan mie instan atau diam-diam beli makanan di warteg murah dekat kantor. Alasan klise yang kerap mereka gunakan saat diajak makan di tanggal 20-an dan gaji sekarat adalah "Makasih, aku udah kenyang" atau "Lagi banyak kerjaan" bahkan hingga "Diet nih bro".
Gaji Besar = Pengeluaran Semakin Besar
Kamu yang masih kuliah, pelajaran moral terbesar adalah jangan sampai terjerat arus gaya hidup. Karena sebesar-besarnya gaji yang kamu dapat, tidak akan cukup untuk menutupi gaya hidup. Nah, bagi kaum urban eksis ini, mereka akan memilih bekerja di sektor perbankan, investasi, konsultan hingga perminyakan demi mendapat gaji besar. Mereka akan bisa dengan bangga potong rambut di salon desainer papan atas di mall mewah, atau berlibur ke Raja Ampat hingga Santorini. Inilah yang membuat gaji terkuras mudah. Mengikuti gaya hidup sebuah komunitas agar disangka eksis, tanpa bisa sempat menabung sedikitpun. Sejatinya, hidupmu tidak berakhir di usia 30 tahun karena hidupmu masih akan berlangsung sampai 50 atau 60 tahun dan untuk menuju ke sana kamu butuh uang yang didapat dari upaya menabung saat masih muda.
Berteman Dengan Anak Orang Kaya
Satu fenomena lain yang didapatkan Mardiyah adalah rupanya kaum urban masa kini memandang penting silsilah pertemanan. Jika kamu bisa berteman dengan kalangan sosialita atau keturunan pengusaha-pengusaha tajir negeri ini, status sosialmu akan naik. Yang jadi masalah, untuk bisa bergabung dalam kehidupan mewah mereka, kamu harus kerap nongkrong di tempat orang-orang kaya itu ada. Dan untuk bisa nongkrong di sana, gaya hidupmu harus berubah. Saat gajimu masih dua juta mungkin kamu akan pakai sepeda motor, kemeja flanel dan jeans. Lalu saat gajimu di atas tujuh juta, kamu akan memakai jam tangan belasan juta dan sedikitnya punya busana hasil desain Biyan. Segitu pentingkah berteman dengan eksekutif muda yang sudah kaya dari lahir itu? Penting bagi kaum muda eksis. Karena bisa saja mereka diajak mengerjakan proyek bareng karena sering dugem bareng di Bali atau luar negeri.
Sosok Panutan Yang Keliru
Melihat betapa gemerlapnya hidup keluarga Kardashian mungkin membuat banyak anak muda cemburu. Kylie dan Kendall Jennee seolah bergemilang harta dan itulah yang membuat kaum urban ini meniru meskipun uang pas-pasan. Gayatri menulis bahwa kaum urban sok eksis ini terlalu bermimpi ingin jadi Mukesh Ambani, salah satu orang terkaya India yang diwarisi perusahaan bedar sehingga punya istana megah. Mereka juga sering melihat kehidupan selebritis yang menghabiskan ratusan juta rupiah demi perawatan rambut. Tanpa sadar, gaya hidup ini yang mendorong mereka salah jalan. Seandainya mereka meniru kisah Dhirubhai pebisnis sukses India yang jadi salah satu terkaya di Asia, gaya hidup dalam keluarga miskin, rumah senpit dan mampu membangun perusahaan raksasa. Atau dari Indonesia, coba tengok kisah Chairul Tanjung yang rela berjualan buku hingga baju saat kuliah yang kini sukses dengan berbagai gurita bisnisnya. Kembali lagi, memang tidak ada yang keliru dengan impian jadi kaya dan hidup serba kecukupan. Namun Gayatri berpendapat bahwa tak ada yang mengajarkan bagaimana mendapat uang besar dan karir cemerlang dengan cara cepat. Butuh perjuangan panjang dan pengorbanan. Tinggal kamu wahai anak muda memilih, mau tampak mewah demi eksistensi atau meredam semuanya demi kehidupan lebih tenang hingga ujung waktu nanti
Gayatri menulis cerita kaum miskin urban berdasarkan observasinya di India, tapi jangan salah. Fenomena anak-anak muda kere yang penting eksis itu faktanya ada di berbagai kota besar di Indonesia. Kamu tentu akan biasa melihat segerombolan anak-anak lulusan sarjana atau masih sekolah dan kuliah yang nongkrong di cafe-cafe mahal. Disebut mahal karena untuk sekali makan dan minum disana bisa habis hingga ratusan ribu rupiah.
Ya, itulah mereka generasi milenial yang ingin dianggap kekinian. Gadget yang mahal seperti iPhone, MacBook, GoPro atau kamera Mirrorless keluaran terbaru adalah hal wajib bagi mereka. Namun kaum miskin urban ini punya beragam hal yang bisa bikin kamu miris melihatnya. Miris, tapi itulah yang terjadi saat ini. Tak cuna Gayatri, Mardiyah Chamim, seorang jurnalis Tempo juga punya cerita soal kaum urban miskin yang penting eksis ini.
Berbarang Mewah Meski Kredit
Siapa sih yang tidak mau memiliki mobil? Mobil adalah amunisi utama anak-anak muda kekinian. Beruntung kalau orangtuamu serba kecukupan dan menghadiahimu mobil. Namun bagi mereka yang baru lulus sarjana dan bekerja di perusahaan, mobil adalah hal wajib yang juga simbol kesuksesan. Yang jadi persoalan, kaum urban ini terkadang tak sadar jika gaji mereka yang di atas lima juta rupiah itu tersedot hampir seluruhnya untuk membayar barang kredit. Memang sih senang bisa punya mobil, sepeda motor sport dan gadget mahal, tapi apakah kamu bisa tenang setiap gajian tiba, uangmu meluncur ke berbagai rekening membayar hutang kreditan?
Nongkrong di Tempat Hits
Starbucks, Potato Head, restoran Paul di Pacific Place atau Deli Union di Grand Indonesia adalah perwakilan beberapa tempat nongkrong dengan harga mentereng di Jakarta. Namun bagi kaum urban ini, sekedar sarapan di sana atau menjamu klien di tempat mahal adalah kewajiban. Untuk apa? Lagi-lagi demi eksis. Siapa sih yang tidak akan bangga bisa check in Path atau memposting foto di Instagram saat berada di sana? Tidak masalah jika uang jatah makan seminggu habis karena cuma sekali nongkrong di tempat hits. Hasilnya anak-anak muda ini kerap harus menahan lapar dan cuma makan mie instan atau diam-diam beli makanan di warteg murah dekat kantor. Alasan klise yang kerap mereka gunakan saat diajak makan di tanggal 20-an dan gaji sekarat adalah "Makasih, aku udah kenyang" atau "Lagi banyak kerjaan" bahkan hingga "Diet nih bro".
Gaji Besar = Pengeluaran Semakin Besar
Kamu yang masih kuliah, pelajaran moral terbesar adalah jangan sampai terjerat arus gaya hidup. Karena sebesar-besarnya gaji yang kamu dapat, tidak akan cukup untuk menutupi gaya hidup. Nah, bagi kaum urban eksis ini, mereka akan memilih bekerja di sektor perbankan, investasi, konsultan hingga perminyakan demi mendapat gaji besar. Mereka akan bisa dengan bangga potong rambut di salon desainer papan atas di mall mewah, atau berlibur ke Raja Ampat hingga Santorini. Inilah yang membuat gaji terkuras mudah. Mengikuti gaya hidup sebuah komunitas agar disangka eksis, tanpa bisa sempat menabung sedikitpun. Sejatinya, hidupmu tidak berakhir di usia 30 tahun karena hidupmu masih akan berlangsung sampai 50 atau 60 tahun dan untuk menuju ke sana kamu butuh uang yang didapat dari upaya menabung saat masih muda.
Berteman Dengan Anak Orang Kaya
Satu fenomena lain yang didapatkan Mardiyah adalah rupanya kaum urban masa kini memandang penting silsilah pertemanan. Jika kamu bisa berteman dengan kalangan sosialita atau keturunan pengusaha-pengusaha tajir negeri ini, status sosialmu akan naik. Yang jadi masalah, untuk bisa bergabung dalam kehidupan mewah mereka, kamu harus kerap nongkrong di tempat orang-orang kaya itu ada. Dan untuk bisa nongkrong di sana, gaya hidupmu harus berubah. Saat gajimu masih dua juta mungkin kamu akan pakai sepeda motor, kemeja flanel dan jeans. Lalu saat gajimu di atas tujuh juta, kamu akan memakai jam tangan belasan juta dan sedikitnya punya busana hasil desain Biyan. Segitu pentingkah berteman dengan eksekutif muda yang sudah kaya dari lahir itu? Penting bagi kaum muda eksis. Karena bisa saja mereka diajak mengerjakan proyek bareng karena sering dugem bareng di Bali atau luar negeri.
Sosok Panutan Yang Keliru
Melihat betapa gemerlapnya hidup keluarga Kardashian mungkin membuat banyak anak muda cemburu. Kylie dan Kendall Jennee seolah bergemilang harta dan itulah yang membuat kaum urban ini meniru meskipun uang pas-pasan. Gayatri menulis bahwa kaum urban sok eksis ini terlalu bermimpi ingin jadi Mukesh Ambani, salah satu orang terkaya India yang diwarisi perusahaan bedar sehingga punya istana megah. Mereka juga sering melihat kehidupan selebritis yang menghabiskan ratusan juta rupiah demi perawatan rambut. Tanpa sadar, gaya hidup ini yang mendorong mereka salah jalan. Seandainya mereka meniru kisah Dhirubhai pebisnis sukses India yang jadi salah satu terkaya di Asia, gaya hidup dalam keluarga miskin, rumah senpit dan mampu membangun perusahaan raksasa. Atau dari Indonesia, coba tengok kisah Chairul Tanjung yang rela berjualan buku hingga baju saat kuliah yang kini sukses dengan berbagai gurita bisnisnya. Kembali lagi, memang tidak ada yang keliru dengan impian jadi kaya dan hidup serba kecukupan. Namun Gayatri berpendapat bahwa tak ada yang mengajarkan bagaimana mendapat uang besar dan karir cemerlang dengan cara cepat. Butuh perjuangan panjang dan pengorbanan. Tinggal kamu wahai anak muda memilih, mau tampak mewah demi eksistensi atau meredam semuanya demi kehidupan lebih tenang hingga ujung waktu nanti
Langganan:
Postingan (Atom)